novel itu



Ada batu karang di tengah taburan cahaya kuning keemasan sebuah perpaduan warna yang memikat Di tengah hiruk pikuk kota makassar yang meninggalkan dirinya. Kota yang sebentar lagi menjelma menjadi kota lain Masa lampau yang terkenang, ibarat senja yang indah di pantai losari sama-sama kita berharap, semoga saja.

Bidadari Senja

Aku pernah merasakan segalanya, menjadikanmu bidadari keindahan dalam goresan tinta penaku. Itulah sebabnya setiap senja aku duduk di hadapanmu sambil menawarkan novel terindah yang kerap kita baca berulang-ulang.
Aku juga masih ingat di novel itu ada sejarah yang pernah kita buat, merobek tepian kertas halaman yang sama-sama kita sepakati, bukan lantaran halaman itu yang kita inginkan. Tapi tiba-tiba saja bola matahari yang redup itu memantulkan cahayanya pada hamparan air laut, memberi pantulan hingga bibir pantai yang aku dan kau sebut si “kala dulu” itu. Aku yakin saat ini cahaya indah itulah yang membuat kita merobek kertas itu..
Kau barangkali masih ingat ; batu besar itu masih ada di sana, tempat duduk kita bersama kala senja tiba di kota ini. kemarin aku sempat singgah dan menulis satu bait puisi yang sampai detik ini belum aku baca. Aku tak ingin membacanya sendiri. Aku tak ingin ada pengkhianatan diantara kita. Apalagi berbicara tentang sastra dan puisi cinta.

Lebih baik aku selip saja bait puisi itu pada lipatan buku yang pernah kita robek sama-sama.

Karena segalanya tentang kita berdua ada di sana. Ada dilipatan novel itu di waktu yang sama, yaitu ketika senja memendarkan cahaya merah kekuningan pada wajah kita masing-masing.
Bahkan foto wajahmu yang bertabur cahaya itu telah kuabadikan di setiap langkahku. Telah kuletakkan di meja kamarku dengan bingkai pemberian seorang sahabat dari kota lain.
Kuperbanyak fotomu itu, ada juga yang kuselip di dompet, dan yang aslinya aku selip juga di novel itu, tepat di bawah lipatan satu bait puisi yang aku buat kemarin..

Kamu akan heran kelak di kemudian hari, mengapa aku begitu setia menjaga novel itu.

Bukankah novel itu pernah engkau baca, kau bahkan mengaku menyukainya dan menyuruhku membacanya di tepi pantai itu ketika menjelang senja. Ketika cahaya matahari kembali sederhana.
Tapi, sampai saat ini aku hanya membacanya hingga lipatan halaman yang kita robek, karena aku ingin kau yang akan melanjutkan sebelum aku. Itulah sebabnya novel itu tak pernah aku baca kembali, aku hanya mendekapnya setiap kali senja itu tiba, kerap kali aku hafal betul cahaya yang akan muncul dan juga gemericik ombak pantai yang lembut .

Hanya burung-burung itu yang terkadang tak setia dengan bunyinya, juga kupu-kupu hijau yang pernah kau kagumi ketika bertengger di batu besar itu, sekarang warnanya kuning kembali seperti yang pernah kita jumpai beberapa tahun yang lalu, kuning dan membosankan.
Lalu, aku sampai saat ini menyimpan cerita yang tak aku ketahui kapan kumulai, aku dengan senja itu tanpa dirimu masih menyisakan tanya waktu engkau meninggalkan kota ini dengan keindahanmu, tak ada lagi cinta selain di waktu senja itu…..

Itupun sesaat saja,.


Besok aku akan datang lagi dengan cahaya senjamu, Di batu besar tempat duduk kita.

Meski aku tak yakin kau akan kembali sebagai bidadari. Mungkin kau akan kembali tanpa senyum itu, senyum ketika pertama kali kita berjumpa di sebuah taman baca, waktu itu kau sangat menyukai “Aku, buku, dan sepotong sajak cinta” sementara aku terenyuh membaca “khutbah di Atas Bukit” dan bergantian kita meminjam “orange Girls” di taman baca itu juga.

Apakah kau tidak prihatin apa yang akan kulakukan di kota ini sendiri? Tanpa engkau sebagai bidadari di setiap penghujung waktu menyambut kelam malam, menyimpan novel itu, sambil meneruskan membaca “perempuan, Rumah kenangan” hingga larut malam. Hingga tak ada lagi energi memeras kerinduan ibarat romantisme sesaat. Cepat luntur hingga tak bersisa semua yang aksidental itu.

Beritahu aku cara mengembalikan semuanya di kota ini.

Terutama mengembalikan dirimu, juga cahayamu yang sederhana bagai puisi pagi dengan setitik embun di keningmu, dan cara memulai pembicaraan kita nantinya di pantai itu sambil sama-sama kita membuka novel kita.

Membaca bait puisi yang pernah aku tulis, dan membuktikan bahwa fotomu yang mungil itu masih utuh, dan juga sketsa robekan pinggiran kertas novel itu.